
Angklung Hamburg Orchestra Feat Gita & Paulus - Tanah Airku


Lagu ini adalah lagu Nasional Indonesia ciptaan Ibu Sud yang kemudian dibawakan oleh teman-teman dari Angklung Hamburg Orchestra bersama Gita dan Paulus yang dalam versi resminya dinyanyikan oleh Rita Effendy. Bagi saya, lirik dalam lagu ini dapat menjadi rumusan bagi kita anak muda yang menggemari musik-musik maupun budaya-budaya yang berasal dari barat (maupun negeri lain) tanpa harus kehilangan jati diri.
Terminologi "Globalisasi" (Saya sendiri lebih suka menyebutnya Nekolim) yang terjadi saat ini, tidak hanya memberikan kerugian besar yaitu berupa kekayaan alam dalam negeri yang dibawa keluar dan dinikmati oleh bangsa lain, namun juga banyak sekali musik, film maupun budaya luar lain yang masuk ke dalam negeri, bahkan dengan adanya Internet lebih mempermudah kita untuk mengakses berbagai hal tersebut. Jika dilihat dari segi ekonomi, kita tidak perlu lagi membahas berapa kerugian kita, entah itu secara kualitatif mapun kuantitatif. Namun bagaimana jika ditinjau dari segi budaya? Mungkin jika harus merangkumnya dalam suatu renungan akan berbunyi; Seberapa banyak kah populasi rakyat Indonesia sebenarnya? Masih ada kah orang Jawa? Sunda? Batak? Bali?
Sebagai contoh, jika saya menanyakan berapa besarkah populasi orang Jawa? Pertama kita harus mengetahui bagaimana ciri-ciri orang Jawa yang sebenarnya. Apakah hanya karena ia memiliki gen orang Jawa dan dalam tubuhnya mngandung DNA keturunan Jawa kemudian kita bisa menyebutnya "orang Jawa"? Atau hanya karena ia lahir dan besar di Jawa maka lantas kita berasumsi bahwa ia adalah orang Jawa? Saya rasa tidak. Menjadi orang Jawa adalah bagaimana kita berbudaya Jawa dan menerapkan filosofi-filosofi ke-Jawa-an di kehidupan kita. Jika seseorang telah berhasil melakukan hal tersebut maka kita bisa menyebutnya sebagai "Wong Jowo". Berapa banyak anak muda yang mengaku sebagai orang Jawa tapi tidak mengerti Aksara Jawa? Bahkan sejarah nenek moyangnya pun tidak tahu. Salah satu identitas ke-Jawa-an yang masih melekat hanya Bahasa Jawa, itupun hanya bahasa Jawa umum yang digunakan sehari-hari.
Jika berbicara tentang musik, berapa anak muda Jawa sih yang masih menyukai musik Jawa? Jangankan menyukai, mendengarkan pun jarang bahkan tidak pernah. Banyak anak muda saat ini lebih menyukai musik barat seperti Rock, Metal, Rap, Trance dll. Memang saya sendiri juga menyukai musik-musik tersebut (apalagi kalau band-nya Paramore), namun apakah lantas kita harus kehilangan identitas kita sendiri? Dalam forum Maiyahan di Kenduri Cinta terdapat suatu terminologi "Oraisinalitas", yang terdiri dari kata "Ora" yang berarti "tidak", kemudian "isin" yang berarti "malu" dan "originalitas" yang berarti "asli", sehingga dapat diartikan bahwa Oraisinalitas adalah sikap tidak merasa malu ketika ia melakukan suatu hal yang tidak asli (dengan kata lain tidak malu meskipun tidak menjadi diri sendiri). Oraisinalitas ini terjadi ketika orang Jawa sudah tidak malu lagi kehilangan identitas ke-Jawa-annya, dan bahkan dengan bangga memamerkan bahwa ia kebarat-baratan (saat ini yang sedang nge-tren adalah Korean-wannabe dan Japanese-wannabe). Biasanya di kalangan perempuan-perempuan muda saat ini akan merasa senang jika ia disebut-sebut mirip seperti orang Korea (cantik seperti perempuan Korea) atau imut seperti perempuan Jepang. Biasanya keduanya lebih menjurus ke segi fashion, Harajuku maupun korean style. Singkatnya, anak muda sekarang lebih suka memamerkan kekoreaan maupun kejepangan mereka, baik dari segi fashion, bahasa, gaya hidup maupun budaya. Populasi orang Jawa semakin menurun, bahkan mendekati kepunahan.
Lantas, apakah kita harus menjadi kolot demi membayar harga dari sebuah identitas diri? Apa orang Jawa harus melulu mendengarkan tembang sinom dan sama sekali menolak dengan mentah musik apapun yang berasal dari barat?
Menurut saya, hakikat sejati manusia adalah kemampuan untuk belajar dan terus berkembang. Belajar dalam hal ini adalah mendalami budaya sendiri dan mempelajari budaya lain, termasuk di dalamnya budaya barat, sehingga kita bisa menjadi manusia yang tahu banyak tentang banyak. Seorang filsuf Yunani, Socrates, mengatakan bahwa "budi adalah tahu", yang dapat diartikan sebagai "budi yang baik timbul karena adanya pengetahuan", sehingga belajarlah supaya tahu dan terus mengenal kebaikan. Jadi, kita dianjurkan untuk terus mempelajari banyak hal supaya kita selalu memiliki kebaikan dalam diri kita, termasuk di dalamnya mempelajari budaya sebanyak-banyaknya. Namun, kita memerlukan suatu pedoman agar saat dalam proses pembelajaran berbagai macam budaya tersebut justru tidak merusak bahkan melenyapkan identitas budaya kita sendiri.
Saya selalu memakai rumusan sederhana dari lirik lagu Ibu Sud ini, yaitu "Biarpun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu". Biarpun hobby saya pergi jauh ke Jepang, ilmu pengetahuan saya pergi jauh ke Yunani, agama saya pergi jauh ke Arab, musik saya pergi jauh ke Paramore, namun Jawa dan Indonesia tidakkan hilang dari kalbu. Secara implisit hal tersebut dapat memberikan kita panduan bahwa; silahkan belajar Jepang asal jangan menjadi Jepang, silahkan belajar Korea asal jangan sampai menjadi Korea, silahkan belajar budaya barat asal jangan sampai menjadi kebarat-baratan. Dalam kaitannya dengan ini, satu hal yang saya pelajari dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) adalah, beliau memberikan analogi bahwa Indonesia bagaikan gado-gado, di dalam gado-gado terdapat banyak bahan seperti lontong, kentang, wortel dll. Agar gado-gado tersebut terasa enak, lontongnya harus benar-benar lontong, kentangnya harus benar-benar kentang dan wortelnya harus benar-benar wortel. Beda ceritanya kalau wortelnya hanya wortel mainan, lontong dan kentangnya cuma pura-pura lontong dan kentang buatan. Karena itu, yang Jawa jadi lah Jawa, yang Sunda jadilah Sunda, yang Batak jadilah Batak sejati, supaya gado-gadonya (Indonesia) terasa lebih enak. Semoga kita tidak menjadi manusia yang gagal identitas.
v (^▽^)




